Oleh: Abu Utsman Ash-Shobuni
Ahlus Sunnah bersaksi dan
berkeyakinan bahwa kebaikan dan kejelekan, manfa'at dan mudarat (kejadian yang
manis maupun yang pahit) semuanya dari takdir dan ketentuan Allah Ta'ala, tidak ada yang mampu mencegahnya, menyimpangkan
atau menjauhkannya.
Seseorang tidak akan tertimpa
suatu musibah melainkan apa yang telah ditakdirkan. Meskipun seluruh makhluk
berusaha keras untuk menolong orang tersebut, akan tetapi Allah
menakdirkan untuk tertimpa musibah maka usaha tersebut tidak berhasil.
Demikian juga meskipun seluruh
makhluk berusaha untuk mencelakakan dirinya akan tetapi orang tersebut tidak
ditakdirkan celaka, maka usaha tersebut tidak akan berhasil, hal ini
sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas radiallahu'anhu. 1
Allah berfirman:
وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ
إِلاَّ هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِهِ
"Jika Allah
menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu,
maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya.."(Yuunus:107)
Termasuk dari pemahaman dan
manhaj Ahlus Sunnah -selain keyakinan mereka bahwa kebaikan dan kejelekan
semuanya dari takdir Allah- mereka juga menetapkan bahwa tidak diperkenankan
menyandarkan kepada Allah apa-apa yang berkesan negatif bila diucapkan secara
terpisah. Tidak boleh dikatakan, misalnya: Allah itu pencipta monyet, babi,
kumbang kelapa dan jangkrik, meskipun kita tahu tidak ada makhluk yang tidak
diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini terdapat hadits tentang do'a istiftah: "Sungguh Maha Suci dan Maha Tinggi
Engkau ya Allah, kebaikan seluruhnya di keduatangan-Mu dan kejelekan tidak
disandarkan kepada-Mu." 2
Maksudnya, wallahu a'lam,
kejelekan tidak termasuk yang bisa disandarkan kepada Allah secara terpisah,
seperti: "Wahai Pencipta keburukan, atau wahai yang menakdirkan
kejelekan". Meskipun benar bahwasanya Dia-lah yang menciptakan dan menakdirkan kejelekan
tersebut.
Oleh karena itu
Nabi Khidir 'alaihis salam menyandarkan kehendak untuk merusak perahu kepada
dirinya sendiri, seperti dikisahkan dalam Al-Qur'an:
"Adapun kapal itu kepunyaan orang-orang miskin yang
bekerja di laut, dan aku hendak merusakkan kapal itu, karena dihadapan mereka
ada seorang raja yang merampas tiap-tiap kapal.” (Al-Kahfi:79)
Namun ketika
beliau menyebutkan kebaikan, kebajikan, dan rahmat, beliau menyandarkan
kehendaknya kepada Allah, Allah Ta'ala berfirman:
فَأَرَادَ
رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن
رَّبِّكَ
"..Maka Rabbmu
menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanan itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.." (Al-Kahfi:82)
وَإِذَا مَرِضْتُ
فَهُوَ يَشْفِينِ
"Dan apabila aku
sakit. Dialah yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu'ara:80)
Beliau menyandarkan sakit kepada
dirinya sendiri dan menyandarkan kesembuhan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Meskipun keduanya datang dari Allah Yang Maha Mulia.
1) Yakni sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam:
"Ketahuilah, bahwa seseungguhnya seandainya bersatu
umat manusia untuk memberikan manfa'at padamu dengan sesuatu, niscaya tiadalah
mereka dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang ditakdirkan Allah
kepadamu, dan seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan kamu dengan sesuatu,
niscaya mereka tidak akan dapat mencelakakan kamu kecuali dengan sesuatu yang
telah Allah takdirkan kepadamu. Telah diangkat pena (untuk menulis takdir) dan
telah kering lembaran-lembaran itu.” (HR. Turmudzi dll dan dikatakan
hasan shahih)
2) Dikeluarkan oleh: Ahmad, Muslim dan lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar dan kunjungannya.
Jangan lupa untuk berkunjung lagi pada kesempatan yang lain.