Oleh: Indro Susanto
Dewasa ini, perubahan iklim menjadi suatu topik permasalahan
yang semakin populer. Perubahan iklim tersebut disebabkan oleh adanya pemanasan
global akibat pengaruh emisi gas rumah kaca yang semakin lama semakin
meningkat. Perubahan iklim antara lain ditandai dengan adanya cuaca ekstrim,
meningkatnya suhu udara dan permukaan air laut, pergeseran musim dan naiknya intensitas
curah hujan. Perubahan iklim mempunyai dampak yang sangat besar terhadap berbagai
aspek kehidupan manusia.
Pengaruh perubahan iklim terutama sangat dirasakan oleh
negara-negara berkembang, khususnya pada masyarakat miskin atau kurang mampu.
Hal ini disebabkan karena mata pencaharian dari sebagian besar rakyat miskin sangat tergantung pada kondisi alam dan iklim
seperti sektor pertanian dan perikanan. Banyaknya keterbatasan dari sumber daya
yang dimiliki oleh rakyat miskin menjadikan mereka tidak memiliki banyak pilihan
kecuali harus beradaptasi dengan lingkungan yang telah berubah.
Negara berkembang seperti Indonesia, yang sebenarnya bukan
termasuk penyumbang besar terhadap perubahan iklim, justru malah mengalami
kerugian yang cukup besar. Di samping itu, Indonesia sendiri sayangnya juga masih
belum memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan adaptasi. Dampak dari perubahan
iklim ini jelas dapat mengancam berbagai upaya Indonesia untuk mengentaskan
kemiskinan. Perubahan iklim akan semakin memperburuk berbagai kerentanan dan
risiko yang dihadapi oleh rakyat miskin, serta menambah beban masalah yang
sudah berada di luar batas kesanggupan mereka. Dengan demikian, perubahan iklim
berarti dapat menghambat upaya orang miskin untuk membangun kehidupan yang
lebih baik dan sejahtera.
Organisasi yang selalu berjuang untuk mengurangi
penderitaan yang dirasakan oleh rakyat miskin ini salah satunya adalah Oxfam. Oxfam
didirikan di Oxford Inggris pada tahun 1942. Oxfam adalah konfederasi
Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara
sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan
yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Oxfam ikut memberikan sumbangan
yang besar dalam rangka memerangi kemiskinan akibat dari dampak perubahan iklim
global di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan
garis pantai terpanjang keempat di dunia.
Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki banyak
pulau kecil dan daerah pesisir pantai yang luas. Wilayah pesisir pantai
tersebut merupakan wilayah yang paling sensitif terkena dampak dari perubahan
iklim karena berbatasan langsung dengan laut. Saat permukaan air laut naik
melebihi ketinggian daratan, maka air laut akan menggenangi daratan tersebut. Naiknya
permukaan air laut ini tentunya akan dapat menyebabkan abrasi pantai. Selain
itu, wilayah pesisir juga sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim lainnya
seperti terjadinya cuaca ekstrim, naiknya gelombang air laut, dan meningkatnya
suhu lautan.
Peningkatan suhu lautan bisa mengakibatkan
rusaknya terumbu karang yang hidup di dalamnya. Pemanasan global yang menjadi
pemicu meningkatnya suhu permukaan air laut menyebabkan karang mengalami
pemutihan. Apabila perubahan iklim ini
terus berlanjut, peristiwa pemutihan akan menjadi lebih sering dan semakin
parah sehingga akan meningkatkan resiko bagi ekosistem terumbu karang. Kerusakan
terumbu karang ini dapat berpengaruh terhadap semakin berkurangnya jumlah
populasi ikan di dalam lautan dan kemudian mempengaruhi aktivitas melaut para
nelayan.
Kelompok nelayan merupakan kelompok masyarakat pesisir
yang paling rentan terhadap perubahan cuaca dan lingkungan. Fenomena cuaca
ekstrim telah memaksa penduduk agar beradaptasi dengan perubahan iklim. Mata
pencaharian nelayan yang bergantung pada kondisi alam atau cuaca menyebabkan
pola aktivitas melaut sedikit demi sedikit berubah. Keterbatasan teknologi
tangkap yang mereka miliki ini belum mampu digunakan untuk melawan tekanan
cuaca. Akibatnya, mereka tidak berani melaut dan penghasilan mereka mengalami
penurunan.
Keadaan alam yang tidak menentu serta jumlah tangkapan
yang semakin berkurang menimbulkan penurunan penghasilan yang dapat mengancam
ketahanan sosial ekonomi masyarakat. Perubahan iklim yang ada telah menyebabkan
bertambahnya musim-musim paceklik bagi nelayan. Pasang dan surut air laut
menjadi lebih sulit diprediksi. Hampir setiap bulan terjadi pasang besar yang
dulunya hanya terjadi pada musim tertentu saja. Adanya perubahan ini memaksa
masyarakat nelayan untuk mencari pekerjaan sampingan lain yang dapat dilakukan
sebagai upaya adaptasi melawan perubahan iklim.
Fenomena yang sekarang muncul adalah terjadinya peralihan
mata pencaharian nelayan, baik itu yang bersifat permanen, sementara, maupun sampingan.
Peralihan mata pencaharian ini dilakukan dengan berprofesi menjadi pengolah
ikan asin dan terasi udang, bertani atau bercocok tanam, maupun beternak. Hasil
tangkapan ikan-ikan kecil atau ikan yang berharga murah dijadikan ikan asin
yang berharga lebih mahal. Jika mendapatkan tangkapan udang kecil akan dijemur sampai
kering lalu diolah menjadi terasi. Peralihan mata pencaharian lainnya dilakukan
dengan bercocok tanam di sawah seperti menanam padi dan palawija. Pada saat
tidak melaut karena cuaca ekstrim, sebagian nelayan biasa mencurahkan waktunya
untuk bertani di sawah atau ladang. Beternak kambing atau ayam juga menjadi
mata pencaharian lain bagi para nelayan untuk menambah sumber penghasilan.
Belajar Strategi Adaptasi Perubahan Iklim dari
Nelayan Pacitan
Dampak dari adanya perubahan iklim juga dirasakan oleh
Sukemi, seorang kakek yang mempunyai 5 orang anak dan 5 orang cucu. Sukemi
adalah seorang nelayan yang tinggal di Dusun Suruhan, Desa Sirnoboyo, Pacitan. Daerah
tempat tinggal Sukemi tersebut termasuk dalam wilayah pesisir sehingga banyak
dihuni oleh para nelayan.
Pada saat musim hujan tiba, Sukemi sering tidak melaut
karena cuaca yang ekstrim seperti hujan lebat dan tingginya gelombang air laut.
Seandainya dipaksa pergi melaut pun hasil tangkapan ikannya tidak seberapa.
Selain itu, cuaca yang ekstrim juga dapat merenggut jiwanya jika ia memaksakan
diri ke laut. Wajar jika dulunya ia memang pernah sempat hilang di laut karena
perahunya tenggelam diterpa oleh ombak laut, tetapi setelah beberapa hari akhirnya
ia dapat kembali pulang dengan selamat. Seperti inilah yang menjadi
permasalahan yang dialami oleh nelayan di pesisir Pantai Selatan Jawa karena
berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia, sehingga dampak perubahan iklim
sangat begitu terasa.
Strategi yang dilakukan oleh Sukemi untuk dapat
beradaptasi menghadapi perubahan iklim ini adalah dengan cara mencari tambahan penghasilan
dari mata pencaharian yang lain, di samping profesi utamanya sebagai nelayan.
Saat ini Sukemi memelihara kambing Jawa sebanyak 2 ekor. Kambing-kambing ini
dijual apabila sudah gemuk dan dewasa. Sebelumnya Sukemi memiliki 5 ekor
kambing, 4 ekor telah laku dijual. Lalu ia membeli 1 ekor lagi untuk dipelihara
sehingga totalnya sekarang yang ia pelihara ada 2 ekor dan keduanya adalah
kambing jantan. “Kambing jantan tidak terlalu banyak menghabiskan pakan seperti
kambing betina,” ungkap Sukemi yang menjadi alasan dia lebih memilih memelihara
kambing jantan saja.
Sukemi dan anaknya, Joko, juga beternak ayam. Mereka
memelihara ayam bangkok, ayam kampung, dan ayam kate. Ayam-ayam ini mereka jual
ketika mereka sedang membutuhkan uang.
Selain memelihara kambing dan ayam, Sukemi juga bekerja
di sawah saat sedang tidak melaut. Ia memiliki sawah sebanyak dua petak. Sawah
Sukemi memang tidak terlalu luas, tetapi cukup lumayan untuk menambah
penghasilan keluarganya di samping mata pencahariaan utamanya sebagai nelayan. Saat musim hujan sawahnya ia tanami dengan tanaman padi, sedangkan pada
musim kemarau ia tanami dengan tanaman palawija seperti jagung, kacang tanah, atau
kedelai. Sukemi hanya bisa menanam padi sebanyak satu kali dalam setahun karena
sawahnya tidak memiliki sistem pengairan, hanya mengandalkan dari air hujan.
Isteri Sukemi, Jumi, juga memiliki strategi lain untuk
beradaptasi terhadap perubahan iklim saat ini. Ia menjemur ikan tungkul hasil
tangkapan Sukemi untuk dikeringkan. Hal ini ia lakukan karena harga ikan
tungkul segar sangat murah di pasar, yaitu harganya tidak sampai Rp 5.000,00
per kilogram. Jika dibuat ikan asin harganya bisa menjadi lebih mahal sekitar
Rp 12.000,00 per kilogramnya. Alasan lain membuat ikan asin tersebut adalah
karena ikan tungkul sedikit sekali peminatnya di pasar. Selain membuat ikan
asin, Jumi juga membuat terasi jika suaminya memperoleh udang-udang kecil. Ikan
asin dan terasi hasil olahannya tersebut, ia jual ke pasar dekat rumahnya.
Penambahan mata pencaharian yang dilakukan oleh Sukemi
dan keluarganya ini merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh nelayan
Pacitan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Masalah turunnya
penghasilan sebagai nelayan akibat cuaca ekstrim dapat sedikit tertutupi dengan
tambahan penghasilan dari mata pencaharian yang lain. Usaha tersebut perlu dilakukan
agar mereka tetap dapat bertahan hidup menghadapi perubahan iklim yang melanda
sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar dan kunjungannya.
Jangan lupa untuk berkunjung lagi pada kesempatan yang lain.